- iklan Paket Wisata di Lombok -
HarianNusa, Mataram – Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel), Rusdi Ariobo, mengungkapkan sejumlah tuntutan penting mewakili aspirasi para nelayan kecil di wilayah Lombok Timur. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan, Fornel menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan nelayan kecil dan lebih berpihak pada perusahaan besar.
Ada 6 (enam) point tuntutan yang disampaikan Foernel, yakni:
1. Penolakan Pemasangan Vessel Monitoring System (VMS). Rusdi menegaskan bahwa pemasangan VMS tidak relevan bagi nelayan kecil. Selain biaya pemasangan dan operasionalnya yang mahal, teknologi ini lebih cocok untuk kapal besar. Menurutnya, kapal nelayan kecil tidak memiliki potensi pelanggaran signifikan, sementara VMS juga kerap mengalami gangguan teknis.
"Cabut kewajiban pemasangan VMS untuk kapal kecil. Terapkan aturan VMS hanya untuk kapal di atas 30 GT. Evaluasi kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi nelayan kecil. Ganti metode pengawasan dengan pendekatan berbasis komunitas atau teknologi sederhana," tegasnya menyerukan tuntutan Fornel di depan Gedung DPRD NTB, Kamis, (16/1/25).
2. Penolakan Kebijakan Kuota Penangkapan Ikan, karena dianggap membatasi penghasilan nelayan kecil dan tidak mempertimbangkan kondisi perairan atau musim ikan. Meminta penghapusan kebijakan kuota penangkapan ikan untuk kapal kecil.
3. Zona Penangkapan Ikan Lintas WPP.
Nelayan meminta kebebasan untuk menangkap ikan di lebih dari satu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Rusdi menyatakan bahwa migrasi ikan dan kondisi cuaca memaksa nelayan berpindah-pindah lokasi penangkapan.
"Berikan fleksibilitas lintas WPP dengan pengawasan sederhana," usulnya.
4. Penurunan Persentase PNBP dan Harga Acuan Ikan. Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5% dan harga acuan ikan yang terlalu tinggi dinilai sangat memberatkan nelayan kecil.
"Turunkan PNBP dari 5% menjadi 2,5%.
Revisi harga acuan ikan, Tuna dari Rp 14.000 menjadi Rp 10.000. Albacore dari Rp 13.000 menjadi Rp 5.000. Cakalang dari Rp 9.500 menjadi Rp 5.000," pintanya.
5. Penolakan Kebijakan Selisih Hasil Tangkapan. Fornel menolak kebijakan pembayaran selisih hasil tangkapan yang dinilai tidak transparan dan membingungkan nelayan.
6. Izin pengangkutan ikan dari pulau-pulau Kecil. Rusdi juga meminta pemerintah merevisi larangan pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil. Larangan ini dinilai merugikan nelayan yang bergantung pada daerah tangkapan di pulau-pulau kecil.
"Perbaiki aturan pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil. Berikan akses bagi pulau-pulau kecil sebagai lokasi pengangkutan," ujarnya.
Rusdi menegaskan bahwa kebijakan yang ada saat ini lebih menguntungkan perusahaan besar dibanding mendukung keberlangsungan hidup nelayan kecil. Oleh karena itu, Fornel berharap DPRD Provinsi NTB dan pemerintah segera menindaklanjuti tuntutan ini untuk menciptakan regulasi yang adil dan berpihak pada nelayan kecil.
“Kami meminta DPRD menjadi penghubung untuk mencari solusi yang lebih inklusif. Nelayan kecil adalah pilar utama dalam sektor perikanan. Kebijakan yang memberatkan hanya akan melemahkan sektor ini,” tegas Rusdi.
Sementara Sekretaris DPRD NTB, H. Surya Bahari, yang mewakili Dewan menemui para masa aksi, mengatakan akan menyampaikan tuntutan Fornel kepada anggota DPRD NTB yang membidangi persoalan nelayan.
"Apa yang menjadi tuntutan Fornel akan kami sampaikan kepada Komisi II DPRD NTB," ungkapnya.
Ia berjanji akan mengatur waktu untuk pertemuan antara Komisi II dan Fornel pada pekan depan.
"Insya Allah pada Selasa, (21/1) nanti kami akan hadirkan seluruh anggota Komisi II DPRD NTB," pungkasnya.
Selanjutnya perwakilan massa aksi menyerahkan dokumen tuntutannya kepada Sekwan DPRD NTB. Setelah itu
Para aksi kemudian membubarkan diri dengan tertib dan aman. (F3)
Ket. Foto:
Sekwan DPRD NTB menerima dokumen tuntutan massa aksi Fornel. (HarianNusa)