Viral Kontropersi Pedagang Mie Babi Berpeci: Etika Bisnis dan Regulasi Non-Halal di Indonesia

11 hours ago 3

Oleh : Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

SATUNEWS.ID,- Sebuah video pedagang mie babi di Jalan Cibadak, Kota Bandung, viral di media sosial. Penjual tersebut disebut mampu menjual hingga 200 mangkuk per hari. Perhatian publik tidak berhenti pada tingginya angka penjualan. Polemik muncul setelah warganet menyoroti atribut yang dikenakan penjual yang memakai peci putih. Hal ini memicu kebingungan di tengah masyarakat, khususnya konsumen Muslim.

Kasus ini juga mendapat sorotan dari warganet. Ada yang menilai penggunaan simbol atau atribut yang identik dengan Muslim dalam penjualan makanan non-halal berpotensi menyesatkan konsumen. Penampilan penjual dapat membentuk persepsi kehalalan produk, meskipun faktanya tidak demikian.

ADVERTISEMENT

banner 300x250

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menindaklanjuti viralnya video tersebut, Satpol PP Kota Bandung melakukan peneguran langsung pada 12 Desember 2025. Petugas memberikan edukasi kepada penjual terkait kewajiban mencantumkan keterangan non-halal.

Kasus ini menyentuh aspek kejujuran dalam berdagang, perlindungan konsumen Muslim, dan kepatuhan terhadap regulasi pangan di Indonesia. Kopyah putih dan kerudung memang bukan syiar agama. Namun, dalam konteks sosial Indonesia, atribut tersebut telah menjadi identitas yang kuat bagi komunitas Muslim.

Karena itu, penggunaan atribut semacam ini dalam penjualan makanan non-halal berpotensi menimbulkan salah paham. Konsumen Muslim dapat mengira makanan yang dijual adalah halal hanya dari penampilan penjual. Risiko ini semakin besar ketika tidak ada label non-halal yang dipasang secara jelas pada gerobak dagang.

Praktik tersebut bertentangan dengan prinsip kejujuran dalam berbisnis. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sensitif terhadap isu halal, penampilan religius memiliki pengaruh besar terhadap keputusan konsumen. Konsumen yang tidak mengetahui kandungan produk dapat mengira mie yang dijual adalah mie ayam halal. Kondisi ini termasuk bentuk penipuan yang dilarang dalam ajaran Islam.

Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang praktik penipuan dalam perdagangan. Hal ini ditegaskan dalam hadis berikut:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – ﵁ – «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – ﷺ – مَرَّ عَلَى صُبْرَةٍ مِنْ طَعَامٍ. فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا. فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا. فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي<رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW pernah melewati (pasar di mana) makanan ditumpuk, lalu ia memasukkan tangan ke dalamnya, dan tangannya mendapati makanan basah. ‘Apa ini wahai penjual makanan?’ tanya Rasulullah SAW. ‘Terkena hujan wahai rasul,’ jawabnya. ‘Mengapa tidak kau tempatkan di atas agar terlihat orang lain. Siapa saja yang menipu, maka ia bukan golonganku,’” (HR Muslim).

Imam az-Zaidani menjelaskan yang dimaksud menipu adalah menutupi sesuatu yang dapat menimbulkan presepsi keliru dari orang lain atas fakta yang sebenarnya. Beliau menjelaskan:

الغش): ستر حالِ شيءٍ على أحدٍ؛ يعني: إظهارُ شيءٍ على خلاف ما يكون ذلك الشيء في الباطن

Artinya, “adalah menutupi keadaan suatu barang dari seseorang. Maksudnya, menampakkan sesuatu tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di dalamnya.” (az-Zaidani, al-Mafatih fi Syarhil Mashabih, [Kuat, Darun Nawadir: 2012], jilid III, halaman 438)

Dalam konteks kasus ini, penggunaan atribut religius tanpa keterangan non-halal dapat menimbulkan persepsi keliru. Konsumen mengira makanan tersebut halal, padahal faktanya mengandung bahan haram. Praktik semacam ini masuk dalam kategori penipuan.

Kasus pedagang mie babi tersebut menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha lain. Penjual wajib mencantumkan label halal atau non-halal secara jelas pada produk yang dijual. Informasi non-halal di ulasan digital tidak cukup. Label fisik di tempat usaha membantu konsumen mengetahui status kehalalan makanan sejak awal. Langkah ini juga mencegah terjadinya kesalahpahaman dan kerugian bagi konsumen.

Regulasi Penjualan Makanan Non-halal di Indonesia

Regulasi terkait penjualan makanan non-halal di Indonesia telah diatur secara tegas. Aturan ini berlaku bagi seluruh pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal menetapkan kewajiban pencantuman keterangan non-halal. Berikut bunyi peraturannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024:

Pasal 2 ayat (1) mewajibkan semua produk makanan yang beredar di Indonesia bersertifikat halal.

Pasal 2 ayat (2) memberi pengecualian bagi makanan yang berasal dari bahan haram, seperti babi.

Pasal 2 ayat (3) mewajibkan produk non-halal mencantumkan keterangan tidak halal secara jelas.

Ketentuan ini menempatkan tanggung jawab penuh pada penjual untuk memberikan informasi yang jujur dan transparan. Konsumen berhak mengetahui sejak awal apa yang mereka beli dan konsumsi.

Kasus pedagang mie babi yang viral karena tidak mencantumkan label non-halal di gerobaknya bertentangan dengan semangat regulasi tersebut. Produk yang mengandung babi termasuk kategori bahan yang diharamkan. Oleh karena itu, keterangan non-halal wajib dipasang secara jelas dan terbuka.

Sebagai penutup, kasus ini menunjukkan pentingnya kejujuran dalam praktik usaha. Penampilan, simbol, dan cara penyajian tidak boleh membentuk persepsi yang keliru di tengah masyarakat. Dalam konteks Indonesia, isu halal memiliki dampak langsung terhadap keyakinan dan keamanan konsumsi konsumen Muslim.

Kepatuhan terhadap etika bisnis dan regulasi merupakan bentuk tanggung jawab moral. Pencantuman label halal atau non-halal secara jelas melindungi konsumen dan menjaga kepercayaan publik. Waallahu A’lam

Sumber: Syariah Keislaman NU

Read Entire Article
Satu Berita| Harian Nusa | | |